Aku tergopoh-gopoh memasukan
kunci motor ke dalam kantung bajuku, hingga aku menyadari aku sudah terlambat
lebih dari 30 menit. Di tempat parkiran café kecil itu, aku membetulkan letak
jepit rambutku yang tak lagi rapi di tempatnya sembari memandang layar handphone yang terus berkedap
kedip memunculkan sebuah nama tak asing. Lelaki itu, lelaki yang ingin kutemui
sore ini. Lelaki yang ingin kucurahkan semua kesakitanku. Lalu dengan berlari
kecil, aku memasuki café tersebut.
Aku celingak celinguk mencari lelaki itu. Terlalu banyak manusia yang
ada di dalam, membuatku semakin kesulitan mencarinya. Tiba-tiba, sebuah tangan
menarikku perlahan, mengajakku untuk menjauh dari keramaian.
Lelaki itu. Lelaki dengan
potongan rambut ikal dan acak-acakan, sorot matanya yang tajam menatapku dari
balik kacamata berframe hitamnya. Bibirnya yang penuh dengan kumis tipis di
atasnya membuat ketampanannya semakin bertambah. Sore itu, ia memakai kemeja
biru jeans dengan celana jeans hitam. Jam Reebok hitam melingkar manis di
lengan kirinya dan sepatu kets biru lusuh miliknya selalu setia menemani
langkahnya. Tapi sungguh, walaupun setelan ini selalu kulihat saat ia
berpergian. Ia tak pernah jelek di mataku, selalu kelihatan istimewa dan juga…
tampan.
*
Kini ia duduk di sebelahku sambil
menyeruput minuman favoritnya, ia menatapku yang masih terengah-engah.
“Capek banget yah? Siapa suruh
telat. Aku sudah menunggumu dari tadi”
“Jalanan macet, aku nggak bisa
ngebut. Lagian kan aku udah bilang, jalannya jam setengah 4 aja”
“Tetap saja kamu telat” katanya
sambil menggerutu.
Aku hanya tersenyum menahan tawa.
Aku memang sengaja menyuruhnya datang lebih awal, biasanya justru dia yang
sering membuatku menunggu. Lagipula tak seharusnya perempuan menunggu lebih
awal bukan? Ujarku dalam hati.
Lelaki itu kini melambaikan tangan
pada pelayan untuk memesan menu. Padahal baru saja aku yang ingin melakukannya.
Mungkin dia peka dan mengerti keadaanku yang begitu kehausan.
“Satu Strawberry Milk Tea, susunya
jangan banyak-banyak, terus satu Chiken Cordon Blue, tapi saos mayonaisenya
dipisahin dari dagingnya”. Lelaki itu selalu tahu pesanananku selama ini.
Bahkan ia sangat hapal kebiasaan-kebiasaan pesanananku.
Setelah pelayan pergi, aku
menatapnya yang sekarang sedang mengeluarkan gitar akustik miliknya. Ia memetik
beberapa senar dan memainkan alunan musik. Dia bukan musisi, dia juga bukan
seorang pemusik,
tapi keahliannya dalam bermain gitar memang wajib diacungi
jempol.
“Makasih ya, tau aja aku laper.
Hafal banget sih sama pesanan aku” kataku sambil tersipu malu.
“Pesanan? Pesanan apa? Itu tadi
pesanan untukku”
“Ah seriusan?” pekikku kaget.
“Hahaha, gampang banget dibodohin
banget sih kamu” candanya.
Mukaku langsung bersemu merah,
aku kesal sekali dengan lelaki yang ada di hadapanku ini. Memang, dia sangat
baik, sangat tampan, tapi… keusilannya membuatku kewalahan. Pernah aku diusilinya
saat masih di bangku sekolah, hingga air mataku mengalir deras tak berhenti. Ia
mengunciku di gudang belakang dan menakutiku dengan boneka setan yang ia buat
saat pelajaran seni budaya.
“Oh iya, katanya kamu mau
cerita?” tanyanya padaku.
Aku hampir lupa dengan hal
tersebut, padahal tujuan awalku bertemu dengannya memang satu, menceritakan
kesedihanku saat ini. Aku menarik nafas panjang, lalu bercerita padanya tentang
kekasihku yang tiba-tiba memutuskan hubungannya denganku. Padahal semua
kelihatan baik-baik saja sebelumnya.
Lelaki itu menatapku sambil
memainkan gitarnya, tatapan matanya memperhatikan pipiku yang mulai basah
karena air mata. Sesekali ia memberikan tisu yang ada di hadapannya padaku,
meskipun tindakannya kecil tapi itu cukup membuat hatiku sangat tenang.
Kini ia mulai berbicara, setelah
aku menjelaskan semua kronologis ketidakjelasan dalam hubunganku. Selama ia
berbicara, sesekali ia memetik gitarnya dan bernyanyi sepatah lagu untukku.
Memang aneh, bagai pujangga kesasar pikirku. Tapi sekali lagi…. Itulah yang
membuatku sangat tenang berada di dekatnya.
“Semua akan baik-baik aja kok,
memang sakit pada awalnya, tapi selama kamu masih punya orang-orang yang
menyayangimu. Percayalah, kamu akan selalu bahagia” ucapnya sambil mengusap
pipiku dengan tisu.
Perlu kamu ketahui, kawan. Lelaki
di depanku ini adalah sahabatku ketika di bangku sekolah, tetapi aku
menganggapnya lebih dari seorang sahabat, lebih juga dari seorang abang, bahkan
mungkin lebih dari seorang kekasih. Ya, aku menganggapnya seperti itu. Memang
kelihatannya berlebihan, tapi hey… aku sangat beruntung memilikinya.
Saat aku merasa lelah karena
merasa diriku sangat bodoh, dia selalu menyemangatiku dengan kata-kata
andalannya. Saat aku merasa bahagia, entah karena cinta, entah karena
lingkungan sekitarku, aku selalu berusaha mengabarinya. Bahkan ketika aku
kesakitan karena datang masa menstruasiku pun aku selalu mengabarinya.
Itulah dia, dia tak pernah bosan
mendengar celotehku, dia tak pernah merasa terganggu akan kehadiranku, tak
pernah merasa risih karena ceritaku dan tak pernah bosan menghiburku dengan
lelucon dan alunan-alunan musik yang terpetik dari gitarnya.
*
Malam itu, aku merasa kesepian.
Musik-musik dari playlist di handphoneku tak menghalau rasa kesedihanku malam
ini, berkali-kali kucoba sambungan teleponku ke lelaki itu, tetapi hanya suara
operator yang menjawab panggilanku. Mungkin handphonenya dimatikan atau mungkin
ia sedang sibuk.
Tiba-tiba led hijau handphoneku
berkedip-kedip, warna led yang ku khususkan ketika ada panggilan masuk dari
lelaki itu, dengan segera aku mengangkat panggilan darinya.
“Ada apa Na? Maaf aku baru
selesai futsal sama teman-teman”
Dia memang selalu seperti itu,
selalu bisa menghubungi aku walau ia sangat sibuk. Aku salut sekali terhadap
perhatiannya kepadaku. Tapi sungguh disayangkan, lelaki seperhatian ini belum
menemukan pasangan yang tepat.
“Maaf ya aku ganggu. Aku kesepian……” kataku sambil
merajuk.
“Ohh… yaudah. Nanti teleponnya
kusambung lagi. Aku ingin pulang kerumah dulu”
Setelah itu, ia memutuskan
panggilan teleponnya. Aku putuskan untuk memutar playlist lagu di handphoneku
lagi. Lagu Sahabat Jadi Cintanya Zigas menjadi pilihanku saat itu. Suara khas
Zian yang serak-serak basah memenuhi ruangan kamar apartemen, lagu yang
menceritakan persahabatan menjadi cinta mengingatkan sekelibat kenanganku
bersama lelaki itu. Lelaki yang beberapa menit lalu mengabari aku bahwa ia akan
meneleponku lagi dan akan membunuh segala kesepianku malam ini.
Entah mengapa, aku merindukan
lelaki sipit berkacamata dengan rambut ikal yang acak-acakan itu. Ada sekelumit
rasa penasaranku terhadapnya, seperti ada rasa berandai-andai memimpikan
bersama dengan seorang yang dicintai. Aku memang menyukainya, tanpa aku sadari
perasaan itu hanya terpendam dalam hatiku. Dia tak pernah mengungkapkan
perasaan apapun terhadapku, ia hanya menganggap aku sebagai temannya semata.
*
Led berwarna hijau dari handphone
berkedip-kedip membuyarkan lamunanku memikirkan lelaki itu. Ini timing yang
sangat tepat, ujarku. Tanpa sadar, sedari tadi aku memperhatikan foto kami
berdua yang aku ambil saat di café tempo lalu. Di foto itu, kami berdua berpose
dengan gaya-gaya aneh. Aku memperhatikan pose-pose lelaki itu, dia terlihat
sangat bahagia. Senyum lebarnya membuat jantungku berdebar, sorotan matanya
mampu menghipnotis mata hingga berdesir kembali suasana hatiku. Aku terlalu
terhanyut memperhatikan wajahnya, sampai lupa led hijauku berkedip-kedip
kembali.
“Halo….”
“Halo… tumben banget ngangkat
teleponnya lama. Udah tidur ya?”
“Gak kok, Far. Tadi lagi
ngelamun”
“Ngelamunin siapa? Mantan lagi?”
tanyanya.
“Eng..enggak. Sok tau ih” kataku
menyangkal.
“Masih aja mikirin mantan. Udahlah
Na, kamu pantas bahagia sekarang. Kamu gaboleh sedih lagi, biarin aja dia
bahagia tanpa kamu. nanti dia juga bakal kena karmanya” nasihat lelaki itu.
“Ih, dibilang gak mikirin mantan
kok, Far. Lagian juga udah lewat masanya mikirin dia, masa mau mikirin orang
yang udah nyakitin hati. Ogah bener!” gerutuku.
“Hahaha… lantas kenapa kamu
bilang kamu kesepian?”
“Mmmmm… kesepian aja. Maklum baru
jomblo lagi”
“Jomblo gak jomblo juga tetep aja
kesepian” candanya.
“Ihh.. Farhan. Terserah deh ya
terserah…” kataku ngambek.
“Aku bercanda Na, gitu aja
ngambek hahaha”
“Hmm.. jelek ih bercandanya”
Kami berdua terdiam sesaat,
sambungan telepon itupun masih tersambung tetapi Farhan tak berbicara.
“Far…” panggilku.
Tak ada jawaban.
“Far, farhan tidur?” panggilku
lagi.
Tiba-tiba terdengar suara alunan
musik A Thousand Years dari Christina Perri mengalun dari gitar sang pujangga
kesasar. Aku tersipu malu mendengarnya, lalu ikut bernyanyi mengikuti alunan
musik yang di mainkan Farhan dengan gitar akustiknya. Kejadian ini memang
sering Farhan lakukan untukku, bahkan tak hanya sekali. Ia melakukan itu
berkali-kali ketika aku sedang sedih.
Sudah 2 jam lamanya aku
bertelepon dengan sang pujangga kesasar ini. Kesepianku meluap dan kesedihan
yang melandaku juga menghilang begitu saja saat Farhan memberikanku
lelucon-lelucon garing miliknya. Sekali-kali ia memainkan gitarnya dengan
asal-asalan. Mendengar suaranya yang makin lama makin lelah, aku langsung
memutuskan untuk menyudahi pembicaraan. Aku yakin dia sudah mengantuk, tetapi
ia paksakan tetap menemaniku. Akhirnya, kami menyudahi pembicaraan kami setelah
kami sepakat untuk pergi ke toko buku bersama besok siang.
*
Aku menyusuri jalanan toko buku
dengan langkah riang. Senyumku mengembang sejak pagi karena menyadari bahwa
siang ini aku akan bertemu lagi dengan Farhan. Sepanjang pagi, aku menatap
wallpaper handphone yang terpampang fotoku bersamanya. Bahkan sepagi ini aku
bolak-balik membuka lemari pakaian, mencari baju terbaik demi terlihat cantik
dihadapannya.
Debaran jantung kian memburu
ketika langkah kaki ini semakin dekat
dengan toko buku yang ada di ujung jalan besar kota D. Belum pernah aku
merasakan getaran-getaran ini selama aku jalan berdua dengannya, kekosongan
hatiku bahkan terisi begitu saja saat aku mengingat berbagai kelakuan yang ia
tunjukan kepadaku. Aku percaya ini namanya cinta.
“Aku udah sampai di toko buku.
Aku di lantai 2 ya” aku mengetik personal chat ke Farhan memberitahukan
keberadaanku yang sudah sampai lebih dulu.
Mataku tak henti-hentinya
memperhatikan buku-buku Ujian Mandiri yang terpampang di hadapanku. Buku-buku
soal itu banyak menorehkan janji lulus ujian dan menuliskan nama-nama universitas
terbaik di negeri ini.
Aku semakin terpacu untuk memperbaiki diri dari
kesalahan yang kubuat kemarin. Kegagalanku dalam jalur undangan lalu memang
mengecewakan kedua orang tuaku. Memang sudah waktunya aku tak bisa main-main
lagi, aku harus sesegera mungkin mempersiapkan diriku ke jenjang yang lebih
tinggi lagi.
Seketika aku mengingat ucapan Farhan
kepadaku saat kami mengetahui kalau kami gagal. Ia menghapus tangisku, mengelus
kepalaku lembut dan membenamkan kepalaku di pelukannya.
“Kita emang gagal di jalur ini,
Na. Kita harus syukuri keadaan ini. Tuhan masih kasih kita banyak jalan, kita
harus terus usaha. Tetap harus sungguh-sungguh ngejalanin semua yang udah
digarisin sama Tuhan. Kita pasti bisa kok! Ayo semangat”
Senyumku kembali menyungging
mengingat pelukan hangat darinya, pelukan yang tak kusadari telah lama terjadi.
Aku baru menyadari, banyak kejadian yang romantis di antara aku dengan Farhan.
Tapi aku terlalu sibuk memikirkan perasaanku pada laki-laki yang tak pernah
menyentuhku selembut Farhan. Tiba-tiba hatiku bertanya, apakah Farhan
menyukaiku?
*
Sesosok wanita dengan rambut
panjang menaiki eskalator bersama dengan laki-laki berambut ikal berjalan ke
arahku. Sosok lelaki dengan kacamata hitam itu tesenyum kepada lawan bicaranya.
Keduanya saling tertawa, saling melempar senyum dan rasanya mereka begitu
terlihat bahagia. Tatapan mata lelaki itupun berbeda dengan biasanya. Hatiku
bagai ditikam pisau, tenggorokanku tercekat memandang pemandangan di depanku
saat ini.
“Eh itu dia orangnya, hei” lelaki
itu melambaikan tangannya padaku.
Aku hanya tersenyum getir,
sesekali mengerjap-ngerjapkan mataku menahan Kristal-kristal yang akan terjatuh
dari kedua mataku.
“Kenalin Na ini temanku, namanya
Grace. Grace ini Catherina, sahabatku”
Mendengar ucapan Farhan, aku
makin tercekat. Sahabat? Hanya sahabat katanya. Oh Tuhan, rasanya aku ingin
memberhentikan waktu saja. Wanita bernama Grace itu mengulurkan tangannya
sambil tersenyum, aku membalas uluran tangannya dengan setengah hati. Aku
kembali menatap Farhan, matanya kelihatan bersinar menatap Grace.
“Han, gue langsung ke atas aja
ya. Makasih udah mau nganterin gue, senang ketemu sama lo”
“Iya, Grace. Hati-hati ya. Senang
ketemu lo juga”
“Gue duluan ya, Catherina” kata
Grace sambil melambaikan tangan.
Aku mengangguk tersenyum sambil
membalas lambaian tangan Grace. Lalu
Grace melenggang pergi meninggalkan kami berdua. Aku berdiri terpaku,
perasaan sakit akibat perkataan Farhan barusan membuatku ingin cepat-cepat
pulang. Tak ada lagi aura debaran yang sejak pagi kutunggu, hanya kecewa yang
ku dapati.
“Na, kamu udah cari bukunya?”
tanya Farhan.
“Belum” jawabku singkat.
“Maaf ya aku telat, kamu nungggu
lama?”
“Nggak kok”
“Yaudah yuk cari bukunya”
Aku tak menjawab, hanya
mengangguk pelan. Aku menyusuri
lorong-lorong toko buku dengannya. Sepertinya Farhan tak menyadari perubahan wajahku
setelah itu, tapi toh aku tak peduli. Aku yakin dia tak mengetahui kesakitan
hatiku.
Begitu di depan buku yang kami
cari, Farhan membuka salah satu buku berwarna merah kekuningan bertuliskan
“Sukses Ujian Masuk Universitas”. Ia membuka dan membolak-balik isi buku
tersebut, sementara aku dengan perasaan sedih hanya membolak balik buku di
sebelahnya. Sepanjang pencarian buku itu, Farhan sibuk menanyakanku tentang
buku seperti apa yang aku sukai untuk belajar tapi kujawab pertanyaannya dengan
sangat singkat.
“Kamu kenapa Na?” tanyanya pelan.
Sepertinya ia menyadari semua pembicaraan berakhir tak seru akibat
ulahku.
“Aku gak apa-apa Far”
“Kamu keliatan bete, kamu marah
sama aku?” tanyanya sambil menatap wajahku.
“Gak, Farhan. Aku gak bete dan
gak marah” jawabku tanpa membalas tatapan matanya.
Tiba-tiba sosok lelaki itu
mengangkat mukaku dengan tangan kanannya, sehingga wajahku dengan wajahnya
begitu dekat. Aku menahan nafas, jantungku berdebar-debar lagi. Ya Tuhan kenapa
dia terlihat sangat tampan sih? Bibirku terkunci seketika, mukaku bersemu
merah. Aku tak mampu berkata-kata lagi.
“Kamu bohong?”
“Mmmmm…… ngg… nggak Far. Aku…..
gak bete. Mmm…” kataku sambil melepaskan tangannya dari kepalaku.
“Ohh, bilang dong. Aku kan
khawatir kalau kamu malah bete gitu.”
Aku gak bete, Cuma kesel aja
ngeliat kamu berduaan sama cewek lain, timpalku dalam hati. Apa selama ini aku
benar-benar hanya dianggap sebagai sahabatnya saja? Ah, aku juga yang bodoh
terlalu mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, kataku.
Buku yang kami inginkan sudah
berada di genggaman masing-masing, aku memilih buku berukuran sedang sementara
Farhan memilih buku tebal bertuliskan “Aku Bisa Masuk PTN”. Aku heran, biasanya
laki-laki kerap memilih buku tipis dan tak banyak tulisan. Tapi lelaki di sampingku
memang berbeda, ketekunan dan kerajinannya buatku malu sendiri. Dia memang
lebih niat belajar dibanding diriku. Keinginnanya menjadi seorang teknisi mesin
memaksanya untuk lebih bisa giat belajar untuk menempuh cita-citanya.
Kami berjalan keluar dari toko
buku, sampai akhirnya aku mulai penasaran pada Grace. Sosok wanita yang bersama
Farhan siang tadi. Jangan-jangan dia pacar Farhan yang baru? Atau teman
dekatnya yang akan menjadi pesaingku. Rasa penasaranku kian membara, akhirnya
kucoba tanyakan pada Farhan yang sedang asyik membaca buku barunya.
“Far…”
“Iya, Na?”
“Mmmm… boleh nanya sesuatu?”
“Yaa, boleh. Ada apa?” tanyanya
sambil mengalihkan pandangan ke arahku.
“Mmmm… perempuan yang sama kamu
tadi siang tadi itu temen baru kamu?”
“Ohh… Grace? Temen futsal aku
ngenalin aku sama dia. Kebetulan dia mau masuk universitas yang sama denganku
Cuma beda jurusannya. Anaknya asyik juga lho diajak ngobrol” ceritanya padaku
sambil tersenyum lebar.
Kretek… suara hatiku makin
tergores keras. Inilah salah satu kebodohan yang aku buat, sudah tau hatiku
mudah sekali rapuh malah masih nekat bertanya tentang suatu kejelasan yang
justru akan membuat hati ketar-ketir sendiri. Bodoh sekali, umpatku dalam hati.
“Na, kok kamu diem?” sepertinya
perubahan mimik mukaku terlihat jelas di mata Farhan.
“Gak kok, haha. Senang ya punya
temen baru”
Sekali lagi, kejutan keromantisan
Farhan terjadi lagi untukku. Badanku diputar olehnya, dia menatap mataku lama,
lalu menggenggam tanganku.
“Aku gak bakal ninggalin kamu
kok, Na. Meskipun dia temen baruku, aku gak bakalan lupain kamu… sebagai
sahabatku” katanya sambil tersenyum.
Kretek…kretek… dan suara hatiku
makin tergores. Aku mengalihkan pandanganku dari matanya, berusaha
mengerjap-ngerjapkan mata, menahan air mata yang sudah mengambang. Farhan yang
menyadari hal itu, langsung mengeluarkan tisu dari tas hitamnya dan menghapus
air mata yang telah terlanjur mengalir jatuh dari pelupuk mataku.
*
Beberapa hari setelah pertemuanku
dengan Farhan di toko buku, aku mulai menyibukan diri mempersiapkan ujian
mandiri yang sebentar lagi terbentang di depan mata. Farhan pun juga begitu. Meskipun
hal itu terjadi, kami masih sering mengabari lewat ponsel masing-masing. Tetapi
setelah pertemuan itu, Farhan sudah jarang memulai pembicaraan lebih awal.
Kekhawatiran menghantui diriku, jangan-jangan ia dan Grace makin dekat lalu
mereka menjadi sepasang kekasih tanpa aku mengetahuinya?
Kekhawatiranku semakin memuncak,
sesaat Farhan tak mengabariku sepanjang minggu ini. Aku menyalakan handphoneku,
lalu menatap wallpaper handphone yang terpampang poseku dengan Farhan. Hatiku
semakin tak terkendali, perasaan itu berdesir kembali, aku semakin tak tahan
dengan kerinduan yang terpendam ini. Kontak di handphone bertuliskan namanya
seakan memanggil-manggilku untuk segera menghubunginya. Tapi kini aku belum
mampu memberanikan diriku untuk menghubunginya kembali. Akhirnya aku hanya
merasakan air mataku meleleh lagi.
*
Mataku lelah menatap buku-buku
berserakan di atas tempat tidur, semalaman suntuk aku berusaha belajar lebih
keras dari sebelum-sebelumnya. Karena mataku sudah tak kuat melihat pemandangan
buku yang menggunung itu, aku mencoba membereskannya satu persatu. Tiba-tiba
mataku tertuju pada sebuah boneka teddy bear coklat tersenyum manis di hadapanku.
Ya, itu boneka beruang yang Farhan berikan untukku saat ulang tahun ke 17.
Boneka itu sangat menggemaskan, berhari-hari ia menemaniku melampiaskan
kerinduanku terhadap Farhan.
Hari ini, tepat satu bulan Farhan
tak mengabariku. Setiap malam setelah belajar, aku mengecek last seen chatnya.
Dari last seennya tersebut, ia kelihatan tidak sibuk. Ia masih sering online
dan mengganti-ganti status personal chatnya. Keadaan itu membuat batinku
teriris. Kemana pujangga kesasarku, Tuhan? Aku sangat-sangat merindunya.
Bisakah kau pertemukan aku lagi dengannya, Tuhan? Umpatku sambil menahan sesak
dalam dada.
*
“Na, sudah jam berapa ini? Ayo
cepat sarapan, nak. Nanti kamu terlambat” teriak Mama memanggilku dari dapur.
Akhirnya hari ini, hari yang
kutunggu-tunggu datang juga. Hari dimana aku harus berjuang meraih kesuksesan
untuk masa depanku kelak. Ya, kamu tak salah baca kawan? Hari ini adalah hari pelaksanaan
ujian mandiri.
Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan soal macam apa yang akan
aku hadapi esok hari. Ketakutan pun melanda diriku, aku takut mengecewakan
orang tuaku lagi. Bayang-bayang peluh mama dan papa terus memotivasiku untuk
mengejar mimpiku. Aku tak boleh menyerah, seperti kata Farhan. Berkali-kali
sepanjang malam itu, aku membaca personal chat lamaku dengan Farhan. Kurindukan
semangat dari pujangga kesasar ini, begitu juga dengan suara bassnya yang setia
memotivasiku ketika semangatku terpatahkan.
Aku menghela nafas panjang, aku
tak boleh memikirkan lelaki itu lebih lama. Kini aku harus terus fokus mengejar
mimpiku. Doa yang tak putus-putus kulontarkan sepanjang malam itu. Nama Papa
dan Mama selalu kusertai dalam tiap ibadahku, bahkan dalam doaku kali ini aku
berharap penuh agar aku tak mengecewakan mereka lagi. Lalu dalam doaku malam
itu, aku berkata lagi pada Tuhan, agar segera mempertemukanku dengan lelaki
berambut ikal berantakan itu. Lelaki yang membuatku mati kutu karena kelembutan
hati serta perhatiannya. Lelaki yang sering usil, membuat lelucon garing dan
menyanyikanku beberapa buah lagu ketika aku sedang sedih. Farhan.
Mama menatapku yang sedari tadi
membiarkan roti panggang di depanku menjadi dingin. Ia melambai-lambaikan
tangannya di depan mukaku. Sontak aku kaget, lalu melirik ke arah Mama.
“Kenapa Ma?” tanyaku.
“Kamu melamunnya lama banget sih,
makan dulu dong makanannya sayang” ucapnya lembut.
Tanpa menjawab ucapannya, aku
melahap roti panggangku dan meminum susu di hadapanku.
“Na, si ikal kok tumben udah gak
pernah main kerumah?” tanya Mama padaku. Aku hampir tersedak mengdengar ucapan
Mama, untung saja susu coklatku tak tersembur di mukanya. Ikal adalah panggilan
Mama untuk Farhan.
“Ikal sibuk kayanya, Ma. Aku juga
belum dapat kabar dari dia kemarin-kemarin” jelasku pada Mama.
“Oalah, kamu berantem emangnya?”
“Nggak kok, Ma. Dianya sibuk
belajar buat ujian deh kayanya”
“Ohh… yaudah cepat habiskan
sarapanmu, sepertinya Papa sudah menunggu di ruang tengah”
Aku mengangguk. Farhan memang
sudah dekat dengan keluargaku, Mama bahkan punya panggilan
kesayangan untuknya.
Mama dan Papa juga sudah menganggapnya seperti anak sendiri, mungkin mereka
sangat mendambakan seorang anak laki-laki. Tapi Mama sudah tak sanggup,
pengangkatan rahim setelah kelahiranku membuatnya harus pupus untuk mempunyai
seorang anak lagi. Maka dari itu, Farhan seperti sudah menjadi bagian dari keluarga
kami.
“Maa, aku berangkat” kataku
sambil mencium tangan Mama.
“Sukses ya sayang, kerjakan
dengan baik dan hati-hati. Dan apapun hasilnya nanti, semoga Tuhan meridhoi
setiap perjalananmu” nasihat Mama sambil memelukku erat.
Pelukan hangat itu kusambut
dengan senyum terharu, Papa yang ada di sebelahku pun ikut merangkulku erat.
Aku janji Pa, Ma! Aku akan membuatmu bangga. Kataku dalam hati.
*
Seminggu berlalu begitu cepat,
Ujian Mandiri sudah kulewati. Aku hanya dapat berharap semoga besok saat
pengumuman ujian mandiri, aku dapat merasakan kegembiraan tiada tara. Semoga
saja…
Aku membenamkan kepalaku di atas
kasur. Mataku menatap layar handphone yang kini selalu sepi tanpa kedap-kedip
led hijau. Ya, sampai saat ini Farhan masih belum mengabariku. Seluruh SMSku
tak dijawabnya, bahkan telepon dariku juga tak diangkatnya. Hati ini semakin
merindukan bayang-bayangnya, teringat suaranya, teringat tatapan matanya.
Akhirnya aku tak kuat lagi, air mataku jatuh tertumpah merindukan dirinya.
*
Jam di kamar berdenting 12 kali,
suara jam itu membangunkanku dari tidur. Mataku terasa amat berat karena
kebanyakan menangis. Aku bergegas menuju
kamar mandi, membersihkan mataku dari bekas air mata. Ku lihat tampangku di
cermin, mataku membengkak seperti habis di pukuli habis-habisan. Rambutku
acak-acakan. Tampangku begitu menakutkan, aku sendiri sampai kaget melihat
wajahku di cermin itu. Aku mencoba mengingat apa yang sudah kulakukan sedari
tadi, tanpa sadar air mataku menetes kembali. Pujangga kesasarku, kamu sedang
apa? Aku merindumu.
Keluar dari kamar mandi, aku menuju komputerku
yang ada di atas meja belajar. Aku menyalakannya dengan penuh harap. Tepat di
tengah malam ini, pengumuman ujian mandiri akan dibuka. Aku berdoa dalam hati
penuh harap. Sembari menunggu program di komputerku menyala, aku melihat
handphoneku. Banyak sekali SMS dan chat yang masuk ke dalam handphoneku. Ucapan
Happy Birthday disertai harapan-harapan terlontar dari kawan-kawanku melalui
chat dan SMS.
Tapi dari sekian banyak SMS dan chat
tersebut, tak ada chat dari lelaki itu. Aku menghela nafas, mungkin saja dia
benar-benar melupakanku.
Setelah program komputerku
menyala, aku membuka browser dan mengetik link pengumuman ujian mandiri.
Aplikasi pengumuman ujian pun terbuka, sambil memperbanyak doa kutuliskan nama
dan nomer pesertaku di aplikasi tersebut.
PENGUMUMAN KELULUSAN UJIAN MANDIRI 2014
NO. PESERTA : 5461883289902
NAMA : CATHERINA PUTRI ANDRIANA
TANGGAL LAHIR : 19 JULI 1996
Selamat, anda dinyatakan lulus seleksi UJIAN MANDIRI 2014.
Anda diterima pada Program Studi berikut.
315472 – SASTRA INDONESIA, UNIVERSITAS INDONESIA
Hatiku melonjak kegirangan
mendapat hasil yang memuaskan dari jerih payahku. Aku bersujud syukur sambil
mengucapkan syukur kepada Tuhan tiada henti. Ingin ku ceritakan semua
kebahagiaan ini, biasanya Farhan mengetahui lebih awal kejutan ini. Akhirnya dengan
tangis bahagia, aku menuliskan satu pesan untuknya.
“Hai kamuuu, bagaimana kabarmu
sekarang? Aku seneng banget, lho! Akhirnya aku keterima di Sastra Indonesia,
UI. Gimana kabar pengumuman Ujian Mandirimu? Semoga Tuhan juga meridhoi
pilihanmu ya, Far:’). Aamiin”
SMS itu kukirimkan pada Farhan,
tiba-tiba butiran Kristal dari mataku menetes lagi. Aku bahagia, sangat bahagia
dibilang. Tetapi, aku hampa, begitu kehilangan sosok yang membuatku selalu
merasa tenang. Lelaki dengan gitar austiknya. Pujangga kesasarku.
*
“Surprice!!!!! AYO BANGUN……” ucap
seseorang membangunkanku. Suara bassnya yang khas dan wangi parfumnya membuatku
terbangun. Sekarang di tempat tidurku, ada lelaki yang selama ini membuatku menangis
tak karuan karena merindunya. Senyumnya begitu mengembang, tatapan matanya yang
teduh itu menatapku sekarang. Tangannya memegang kue ulang tahun dengan tulisan 18 tahun di atasnya.
Tanpa sadar, aku memeluknya
dengan penuh arti. Kubenamkan kepalaku pada pundaknya yang besar. Kerinduan yang
sejak kemarin aku tangisi kini berubah menjadi sebuah kebahagiaan. Farhan membalas
pelukanku, lalu mengelus kepalaku lembut.
“Kamu…. kemana.. ajaa hiks?”
kataku sambil terisak.
Farhan tak menggubris
pertanyaanku, ia hanya memelukku makin erat. Kurasakan kehangatan pelukannya, mencium
wangi khas tubuhnya. Dalam pelukannya aku bahagia, kegelisahan selama sebulan
ini rasanya hilang sudah. Matahari pagi masuk ke sela-sela jendela kamarku
seakan menyambut kedatangan Farhan. Kiacuan burung dari balik jendela kamar
menambah suasana pagi itu semakin riuh.
“Udah ah nangisnya, lilin di
kuenya ntar jadi meleleh lho!” kata Farhan.
Aku melepaskan pelukku dari
tubuhnya. Kue ulang tahun berwarna hijau muda bertuliskan “Happy Birthday
Catherina” di hadapanku ini begitu menggemaskan karena ada lukisan wajahku di
atas kuenya.
“Ayo sekarang kamu make a wish”
kata Farhan tersenyum padaku.
Kutatap lilin bertuliskan angka
18 itu, aku memohon agar semua yang akan kuhadapi di masa yang lebih dewasa ini
bisa kujalani dengan penuh suka cita bersama orang-orang yang kusayangi. Tak lupa
kuucapkan syukur atas segala kenikmatan yang telah aku terima selama 18 tahun
ini.
Farhan melirik ke arahku, ia
mengelus kepalaku lagi. Aku memejamkan mataku dan memohon kembali. Kumohon
Tuhan, semoga kau dapat menjaga dan melindunginya. Aku sangat mencintainya,
Tuhan. Ku harap ia dapat merasakan rasa cintanya kepadaku. Aamiin. Kutiup lilin
ulang tahunku sambil tersenyum bahagia.
*
Pagi ini menjadi pagi terspesial sepanjang perjalanan hidupku,
aku dikelilingi orang-orang yang menyayangiku di hari kelahiranku ini. Mama,
Papa dan juga Farhan. Sepanjang pagi ini, aku bercerita dengan Farhan tentang
keseharianku selama sebulan itu. tanpa bosan ia mendengarkan curhatku itu. Sesekali ia tertawa mendengarkan ceritaku.
"Oh iya, gimana hasil ujian mandirimu?" tanyaku.
"Mmmmm.. aku.. aku keterima di Universitas Brawijaya Na. univeritas yang aku mau itu lho di Malang!" jawabnya sambil tersenyum.
Aku tersenyum menatap wajah bahagia Farhan. ia berhasil
mendapatkan sesuatu yang ia inginkan saat ini. Tunggu dulu, apa yang ia bilang?
Di Malang? Apa aku tak salah mendengar? Tiba-tiba senyumku berubah menjadi
kecut.
“Malang? Jawa Timur?” tanyaku
“Iya, Jawa Timur Na.”
“jadi, kamu akan tinggal di sana?”
“Iya, sepertinya begitu…”
Perkataan Farhan barusan mengikis hatiku lagi. Aku tak
sanggup menatap wajah bahagianya. Kusembunyikan sedihku ini dengan tersenyum
getir.
“Selamat ya Far, aku ikut senang”
“Ini juga berkat semangat yang kamu kasih untukku tiap
malam, Na. Meskipun kamu kira aku gak bales chatku karena sibuk. Tapi di
sela-sela kesibukanku ini, aku selalu membaca chat dan SMS yang kamu kasih
buatku. Makasih ya” katanya menggenggam tanganku.
“Tapi…. Kenapa harus di Malang Far?” kataku memberanikan
diri.
Farhan terdiam sesaat, ia memperhatikan air mukaku yang
tiba-tiba berubah. Kemudian ia menghela nafas panjang, lalu mengelus rambutku
seperti yang ia lakukan saat memberikan kejutan. Tatapan mata Farhan
membelengguku sesaat, bola matanya kelihatan bersinar saat bertatapan dengan
mataku.
“Na, aku tau ini berat. Maafin aku harus ninggalin kamu.
tapi kita kan masih bisa chat, SMS atau teleponan tiap malam” katanya
menghiburku.
Aku makin tak bisa menahan kesedihanku, air mataku terjatuh
di genggaman tangan kami. Sekali lagi, Farhan memelukku, ia membenamkan
kepalaku di dadanya. Sungguh, aku bisa mendengar debaran jantung yang luar
biasa darinya. Tuhan, kenapa di saat-saat bahagia seperti ini, Kau harus
pisahkan aku dengannya? Aku belum sanggup, Tuhan. Kuatkan aku. Umpatku dengan
tangis.
*
Suara deru kereta semakin jelas dengan pendengaran,
suara-suara sirine palang kereta beradu dengan ramainya jalanan ibukota. Aku menyadari,
aku telah sampai di stasiun kereta api bersama sopir keluarga Farhan. Aku melirik ke
arah sang pujangga kesasar itu, ia menenteng gitar akustik miliknya dengan
susah payah, kubantu dirinya menurunkan tas lain dari bagasi mobilnya. Setalah
semuua barang diturunkan, kemudian kami semua masuk ke dalam stasiun kereta api.
“Kereta kamu sampai di stasiun jam berapa?” tanyaku.
“Sebentar lagi, Na. kira-kira jam 3an lah”
“Ohh…”
Sedari pagi, moodku memang sudah tidak teratur. Kepergian Farhan
ke Malang pada hari ini menjadi penyebabnya. Semalaman suntuk aku memutar lagu
Maudy Ayunda – Cinta yang tak mungkin jadi, sambil memperhatikan foto kami
berdua. Batinku masih belum kuat menerima ia harus pergi ke Malang, ia sudah
terlalu menyentuh hatiku. Padahal baru saja ia datang memberikanku kejutan
indah pada hari ulang tahunku seminggu lalu.
“Na…” panggilnya.
“Kenapa?” kataku memandangnya.
Ia mengeluarkan gitar akustiknya, lalu memainkan nada-nada
yang kukenal. Lagu Pasto – Aku Pasti Kembali mengalun dari gitar lelaki
berambut ikal itu.
“Aku akan pergi tuk
sementara bukan tuk meninggalkanmu selamanya. Aku pasti kan kembali, pada
dirimu. Tapi kau jangan nakal.. aku pasti kembali”
Mendengar suara indah dari bibirnya, aku tak mampu
berkata-kata. Bibirku seolah terkunci rapat oleh seribu bahasa. Debaran jantung
ini kian memburu hatiku. Apa ini saatnya aku harus mengungkapkan segala
perasaan yang telah terjadi selama bertahun-tahun lamanya? Ku hela nafas
panjang, lalu dengan berani ku gamit tangan lelaki di hadapanku itu.
“Far?”
“Ya?”
“Aku mau ngomong sesuatu…”
Farhan membalikan tubuhnya menghadapku “Apa?”
“Aku…sayang sama kamu, Far” ucapku lirih.
”Selama 3 tahun ini, aku menyadari kalau perasaan ini bukan Cuma
karena persahabatan semata. Tapi lebih dari itu aku memang pernah jatuh cinta
sama orang lain. Tapi itu karena aku merasa gabisa milikin hati kamu, Far. 1
bulan kemarin, setiap malam aku selalu merindukan kamu. aku takut kamu berubah,
Far. Bahkan saat kamu kenal Grace. Aku… aku… benar-benar cemburu saat itu. tapi
aku sadar, aku bukan siapa-siapa kamu. Sekarang, aku Cuma bisa pasrah karena
harus kehilangan kamu” ucapku panjang lebar.
Farhan masih terdiam melihat aku yang mengungkapkan perasaan
di hadapannya. Bunyi kereta dari peron 3 memecah keheningan stasiun kota. Kereta
menuju Kota Malang berhenti di depan kami berdua. Aku tercekat, secepat inikah
aku harus kehilangannya? Aku memandang wajah Farhan yang masih terdiam mematung
di kursi tunggu. Kemudian, ia berdiri merapikan gitar ke dalam tasnya dan
mengangkut tas-tas kecil miliknya.
Sebelum memasuki kereta, ia menatap wajahku lama, tangannya
mengelus wajahku dengan lembut. Jemarinya ia selipkan diantara jari-jariku, ia
mendekatkan wajahnya. Akhirnya, kecupan hangat mendarat dikeningku.
“Aku pasti akan pulang, aku janji. Sekarang belum saatnya
kita bersama, Na… aku yakin suatu saat nanti kita pasti akan bersama. Tapi entah waktunya kapan. Jaga dirimu baik-baik,
Na. aku juga sayang sama kamu” katanya menggenggam erat tanganku.
Farhan melepaskan genggamannya, lalu membuka tas hitamnya. Ia
mengeluarkan sebuah bingkisan kecil terbungkus rapih dengan kertas kado
berwarna hijau.
“Jaga barang ini, suatu saat aku pasti akan menggantinya
dengan yang lebih indah” katanya tersenyum manis.
“Aku pergi dulu, Na” pamitnya padaku.
Aku membalas lambaian tangannya, mataku tak sanggup lagi
untuk menahan segala tangis karena kepergiannya. Aku menyerah, mungkin benar. Saat
ini aku harus mengejar mimpiku. Sebelum aku bertemu lagi dengannya. Lalu dengan
pasrah, kutatap kereta menuju Malang berjalan mulus di atas rel.
*
Dear malaikat tanpa sayapku, Catherina Putri Andriani
Selamat ulang tahun
ya, semoga panjang umur dan sehat selalu. Semoga Tuhan selalu meridhoi setiap perjalananmu
di umur 18 tahun ini. Ciekan, sekarang jadi mahasiswa jaket kuning. Selamat ya
atas lolosnya kamu di ujian mandiri tahun ini:’)
Na, aku harap kamu tak
kecewa akibat kepergianku ke Malang. Aku tahu pasti rasanya berat. Akupun begitu.
Aku begitu berat harus kehilangan canda dan tawamu.
Ini kadoku untuk kamu,
jaga baik-baik cincin ini ya. Mungkin 6 atau 7 tahun lagi aku dapat
menggangtinya dengan yang lebih indah.
Dari aku yang selalu
mencintaimu,
Farhan Rizky Rahman